Ketika ibadah menjadi perdebatan, tentu tidak ada jawaban.

Kenapa ibadah seseorang menjadi sebuah perdebatan di publik? Bukankah ini adalah masalah sakral kehidupan orang-per orang. Apa ini juga bagian dari konsumsi publik? Keingintauan yang cukup mendalam kah sehingga masalah ibadah jadi singgungan buat beberapa umat.


Saya menyadari ketika menulis tentang ini, suguhan pikiran dari sebagian pembaca adalah saya jarang beribadah sehingga saya membela diri diri. :)) Sesungguhnya tidak.

Ini cerita saya.

Saya anak pertama dari 2 bersaudara. Orang tua yang sangat taat beribadah membuat saya dan adik di didik untuk selalu menyelipkan "ibadah" dalam setiap kegiatan. Kehidupan di kota kecil dan tidak banyak dipengaruhi oleh ibu kota membuat kehidupan religi selalu ada di setiap proses. Di mulai dari yang wajib, shalat 5 waktu, berdoa setiap melakukan dan menyelesaikan kegiatan, belajar membaca Al-Quran dengan guru ngaji dan 6 tahun untuk madrasah selesai pulang sekolah (SD), mengikuti nasyid, perlombaan membaca Al-Quran, dan itu masih belum cukup. Di madrasah saya berkenalan dengan ilmu tauhid, fiqih, sejarah dan sebagainya. Banyak hal yang saya syukuri karena  dibekali ilmu agama dengan baik.

Ketika hukuman menjadi alasan mengapa harus menaati itu semua.
Surga dan Neraka? Ketahuan tidak shalat, akan dapat hukuman. Ketika tidak melaksanakan puasa dengan full, tidak dapat tambahan jajan. Saya ingat ketika di madrasah saya tidak pernah dapet ranking. Saya sering berdiri di atas meja karena tidak hafal beberapa ayat pendek yang menurut saya waktu itu lumayan panjang. ;) Saya tidak bandel, tapi saya sering susah dengan hafalan. :)) Saya juga ingat lebih sering melakukan kegiatan nasyid dan belajar seni membaca Al-Quran ketimbang harus masuk kelas dan menghafal. Benar-benar tidak bandel bukan? ^.^ Saya juga menyukai ketika semua anak-anak madrasah berkumpul pada setiap Ashar dan melakukan shalat berjama'ah. Para Akhwan setelahnya melakukan percobaan shalat berjama-ah dan adzan. Saya menyukai ketika saya menjadi imam dan itu selalu saya lakukan ketika harus mencontohkan seperti apa yang benar. Saya benar-benar banci tampil. Perlombaan sering saya ikuti dari membaca Al-Quran, saritilawah, nasyid dan Arab Melayu.

Tidak ada yang berbeda dengan SMP. Sayangnya madrasah di kota kecil saya hanya dikhususkan untuk anak-anak SD. Pada masa SMP saya masih mendapatkan hukuman ketika tidak melakukan kewajiban 5 waktu. Tetapi untungnya, mulai mengerti bahwa Shalat adalah kewajiban kita untuk bersyukur karena telah diberikan kehidupan. Begitu pula SMU. Walaupun tidak tinggal dengan orang tua, tapi tante saya adalah orang yang paling religius. Kewajibannya selalu diikuti sunnah. Semasa SMU saya sempat mengikuti ekskul Rohis. Saya juga tidak pernah ketinggalan membaca Surat Yasin stiap jumat dan mengaji karena ada guru yang disewakan untuk datang tiap 3 hari dalam seminggu.

Ketika kuliah, saya tidak tinggal dengan orang tua dan tante tetapi sendiri. Disana saya mengerti bagaimana bertoleransi terhadap umat beragama. Saya bukan mayoritas tetapi minoritas. Saya banyak belajar dari semua proses yang enggan bergerak mundur. Saya tetap dijalanNya walaupun belum menutup aurat. :) dan saya juga melakukan apa yang saya sering lakukan semasa kecil. Intens? Tidak untuk saat itu. Apa yang terjadi? Saya tidak tahu.Tapi perasaan saya yang suka naik turun membuat shalat bukan hanya menjadi kewajiban tapi kebutuhan. Tidak jarang saya menangis ketika benar-benar menengadahkan tangan. Walaupun cuma khatam sekali pada saat kuliah, saya kembali merasa beruntung karena punya doa baru yang saya jabarkan di tiap sehabis shalat. Untuk Oma, Opa, Kakek dan Nenek.

Semua hal yang saya ceritakan hanya sebuah narasi dari banyak kehidupan. Saya menggambarkan diri saya dan belum tentu benar. Saya bisa saja berbohong dengan menambahkan atau malah mengurangi hal-hal yang pernah saya jalani. Tapi apatah saya! Tidak penting untuk dibahas kehidupannya. Saya hanya ingin mengatakan bahwa ibadah yang sebenarnya tidak perlu diumbar, sama seperti narasi yang sudah saya buat di atas. Ketika men-judge adalah sebuah habitat, interpretasi jelek pun akan muncul. Kesedihan dan ketersinggungan berbagai pihak akan menjadi perpecahan. Tidak takutkah akan adanya perang? Dan Allah membenci peperangan. Tidak adakah cara yang lebih damai untuk bisa saling mengingatkan?

Saya lebih menghargai ketika sebuah informasi disebarkan melalui hal-hal yang berguna, seperti berdiskusi, membaca, melakukan kegiatan amal, diskusi publik bahkan adanya sebuah ruang private untuk sekedar mengingatkan apa yang wajib dilakukan oleh umatNya.

Bukankah itu juga lebih bijak, ketimbang memperdebatkan kesakralan prinsip?


Salam,
Regina anak Pak Irwan Lubis

Komentar

  1. benar bgt...sy stuju..
    sama sprti narasi anda...klw anda umbar kgiatan keagamaan anda 1 paragraph lg..
    pasti sy akan merasa jenuh utk membaca nya....
    dosis yg anda berikan dlm resep ini sudah sgt pas mnurut sy...lol

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer